"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan tiada aku termasuk di antara orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf:108)

29 March, 2020

 PERGOLAKAN RUMAHTANGGA



Sebagaimana kita fahami  sebuah perkawinan yang dilakukan tentu mempunyai tujuan-tujuan yang tertentu yang hendak diraih-nya. Al-Quran secara umum menjelaskan tujuan perkawinan, antara lain, disamping untuk mengembangkan keturunan.

Saperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
Ya-ʾayyuhan-nasu ttaqu rabbakumu lladhi khalaqakum min nafsin waidatin wa-khalaqa minha zawjaha wa-baththa minhuma rijalan kathiran wa-nisaʾan wa-ttaqu llaha lladha tasaʾaluna bihi wal-ʾarama ʾinnallaha kana ʿalaykum raqiba

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Surah An-Nisaa: 1)

Di dalam al-Quran dijelaskan bahawa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, kedamaian, kebahagiaan dan kasih saying.

Sebagaimana dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
wa-min ʾaytihi ʾan khalaqa lakum min ʾanfusikum ʾazwajan li-taskunu ʾilayha wa-jaʿala bainakum mawaddatan wa-ramatan ʾinna fi dhalika la-ʾayatin li-qawmin yatafakkarun

“Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, bahawa Ia menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikanNya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir”. (Surah Ar-Ruum: 21)

Dengan demikian, sebenarnya perkawinan itu sesuatu keperluan asasi bagi setiap manusia. Dia tidak boleh dipisahkan dari keseluruhan kehidupan manusia itu sendiri. Kerana itu perkawinan yang merupakan salah satu Sunnatullah itu tidak boleh dihindari oleh setiap insan dalam meraih tujuan-tujuan yang luhur itu. Dengan kata lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan perkawinan adalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan-tujuan luhur tersebut.
 
Sebaliknya, Islam melarang perkawinan yang semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu (kahwin Muta’ah, misalnya) dan mengutuk terhadap orang yang kahwin sana dan kahwin sini hanya untuk “merasakan” kepuasan hubungan seksual semata-mata.

Menurut Prof Dr Hamka, rahmah lebih tinggi kedudukannya daripada mawaddah sebab ia kasih mesra di antara suami isteri yang bukan lagi berasaskan keinginan syahwat, sebaliknya rasa kasih sayang murni yang tumbuh dari jiwa yang paling dalam sehingga suami isteri merasakan kebahagiaan yang tidak bertepi dan ketenangan yang tidak berbatas.

Islam telah memberi banyak petunjuk, antaranya hendaklah pihak masing-masing (calon Isteri atau suami) menyedari sepenuhnya bahawa menjalin perkawinan itu merupakan bahagian dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dari itu ia harus dilakukan secara tulus, semata-mata kereadhaan-Nya.

Masing-masing pihak diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memilih calon pasangan yang paling disukainya. Calon isteri atau suami sebelum melangsungkan perkawinan dianjurkan untuk calon yang diminatinya dan mengenal pribadinya serta keadaan keluarganya.

Dalam menjatuhkan pilihan pasangan, hendaklah calon suami maupun isteri menjadikan kualiti ketaqwaan keislaman sebagai standardnya. Kerana ketaqwaan akan menjadi senjata maupun dalam meredam berbagai gelojak yang timbul dalam mengayuh perahu rumah tangga, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin akan melindunginya.

Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara lelaki dan perempuan dari kerosakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (Hadits Riwayat: Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa-I, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.)

Pasca perkawinan, Islam juga member  banyak pertunjuk bagi pasangan suami-isteri sebagai petunjuk dalam menjalankan perahu rumah tangga, agar terhindar dari berbagai factor yang boleh menimbulkan krisis atau gelojak. Petunjuk-petunjuk tersebut antara lain, Islam telah menentukan kedudukan dan tanggung-jawabnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
wal-muallaqatu yatarabbana bi-ʾanfusihinna thalathata quruʾin wa-la yaillu lahunna ʾan yaktumna ma khalaqa llāhu fī ʾaramihinna ʾin kunna yuʾminna billahi wal-yawmil-ʾakhiri wa-buʿulatuhunna ʾaaqqu bi-raddihinna fi dhalika ʾin ʾaradū ʾilaan wa-lahunna mithlulladh ʿalayhinna bil-maʿrūfi walir-rijali ʿalayhinna darajatun wa-llahu ʿazizun akim

“Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (dari berkahwin) selama tiga kali suci (dari haid). Dan tidaklah halal bagi mereka menyembunyikan (tidak memberitahu tentang) anak yang dijadikan oleh Allah dalam kandungan rahim mereka, jika betul mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami mereka berhak mengambil kembali (rujuk akan) isteri-isteri itu dalam masa idah mereka jika suami-suami bertujuan hendak berdamai. Dan isteri-isteri itu mempunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka (terhadap suami) dengan cara yang sepatutnya (dan tidak dilarang oleh syarak); dalam pada itu orang-orang lelaki (suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). Dan (ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (Surah Al-Baqarah: 228)

Sementara kepimpinan keluarga diamanahkan kepada suami sesuai dengan martabatnya.

Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
ar-rijalu qawwamana ʿalan-nisaʾi bi-ma faḍḍalallahu baʿahum ʿala baʿin wa-bi-ma ʾanfaqu min ʾamwalihim fa-aliatu qanitatun afiatun lil-ghaybi bi-ma afiallahu wa-llati takhafuna nushuzahunna fa-ʿiuhunna wa-hjuruhunna fīl-maajiʿi wa-ribuhunna fa-ʾin ʾaaʿnakum fa-la tabghu ʿalayhinna sabilan ʾinnallaha kana ʿaliyyan kabira

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan (memberi nafkah) sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya), dan yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolonganNya. Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil) pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan (kalau juga mereka masih degil) pukulah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”. (Surah An-Nisaa’: 34)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam juga telah bersabda:

“Setiap orang dari antara kamu adalah pemimpin, dan setaip pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban-nya. Seorang suami adalh pemimpin ditengah keluarga-nya, dan dia bakal dimintai pertanggungjawaban-Nya. Dan (demikian halnya) seorang isteri adalah pemimpin ditengah keluarga suaminya dan anak-anaknya, dan dia bakal dimintai pertanggungjawaban-nya. (Hadits Riwayat: Bukhari dan Muslim)

Diharapkan pihak masing-masing lebih memperhatikan ketimbangan hak-haknya. Prinsip musyawarah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
walladhina stajab li-rabbihim wa-ʾaqamus-salata wa-ʾamruhum shura bainahum wa-mimma razaqnahum yunfiqun

“Dan juga (lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menyahut dan menyambut perintah Tuhannya serta mendirikan sembahyang dengan sempurna; dan urusan mereka dijalankan secara bermesyuarat sesama mereka; dan mereka pula mendermakan sebahagian dari apa yang Kami beri kepadanya”. (Surah Asy-Syuura: 38)

Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala seterusnya:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
fa-bi-ma ramatin minallahi linta lahum wa-law kunta faẓẓan ghalizal-qalbi lanfaḍḍu min awlika fa-ʿfu ʿanhum wa-staghfir lahum wa-shawirhum fil-ʾamri fa-ʾidha ʿazamta fa-tawakkal ʿalallahi ʾinnallaha yuibbul-mutawakkilin

“Maka dengan sebab rahmat (yang melimpah-limpah) dari Allah (kepadamu wahai Muhammad), engkau telah bersikap lemah-lembut kepada mereka (sahabat-sahabat dan pengikutmu), dan kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka lari dari kelilingmu. Oleh itu maafkanlah mereka (mengenai kesalahan yang mereka lakukan terhadapmu), dan pohonkanlah ampun bagi mereka, dan juga bermesyuaratlah dengan mereka dalam urusan (peperangan dan hal-hal keduniaan) itu. kemudian apabila engkau telah berazam (sesudah bermesyuarat, untuk membuat sesuatu) maka bertawakalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengasihi orang-orang yang bertawakal kepadaNya”. (Surah Al-i’Imraan: 159)

Masing-masing pihak harus sedar bahawa manusia tetap manusia, yang tidak boleh lepas dari kelemahan, kekurangan dan kekhilafan. Al-Quran mengajarkan disebalik kelemahan pada salah satu pihak, justeru menjadi sumber pahala dan kebaikan bagi pihak yang lain.

Seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
ya-ʾayyuhalladhina ʾamanū la yahillu lakum ʾan tarithun-nisaʾa karhan wa-la taʿuluhunna li-tadhhabu bi-baʿi ma ʾataytumuhunna ʾilla ʾan yaʾtina bi-faishatin mubayyinatin wa-ʿashiruhunna bil-maʿrūfi fa-ʾin karihtumuhunna fa-ʿasa ʾan takrahu shayʾan wa-yajʿalallahu fihi khayran kathira

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka (dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepadanya, kecuali (apabila) mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu).” (Surah An-Nisaa: 19)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam juga berpesan hendaklah dalam menyikapi pribadi satu terhadap yang lain secara adil (Komperhensif), kerana setiap orang disamping memiliki kelemahan disatu sisi tapi disisi yang lain tentu memiliki kelebihan.

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:

“Janganlah seorang lelaki Mu’min (Suami) membenci begitu saja terhadap Mu’min perempuan (isteri) kerana jika ada perangai yang tidak disukai, dia pasti readha (menyenangi) peranagi lain (yang baik) daripadanya.” (Hadits Riwayat Muslim)

Sejumlah petunjuk tersebut, baik yang berupa asas maupun petunjuk dalam kehidupan berkeluarga, merupakan upaya preventif yang diharapkan boleh menjadi benteng pertahanan dan penangkal bagi timbulnya kemelut dalam mengayuh perahu rumah tangga.

Namun demikian kenyataan menunjukkan tidak semua perahu rumah tangga boleh Berjaya. Bahkan kadang-kadang perahu rumah tangga itu terkandas atau pecah ditengah jalan. Terkandas rumah tangga, mungkin kerana dashyat gelombang yang menerpa; dan pecah atau mungkin kerana rapuhnya perahu itu sendiri. Jadi, yang menyebakan kegagalan meraih tujuan-tujuan perkawinan yang luhur itu amat komplek. Mungkin juga kerana factor eksternal (kerana dashyatnya goncangan yang menerpa), mungkin juga kerana factor-faktor internal (kerana rapuhnya asas bangunan rumah tangga ) dan lain-lain.

Secara khusus, Agama Islam memang tidak menentukan batas-batas yang tegas maupun rinci bagi suami-isteri dibolehkan membuka “pintu darurat” (memutus hubungan perkawinan). Secara umum, Islam member petunjuk: Bahawa perceraian itu boleh dilakukan apabila salah satu pihak melanggar atau durhaka kepada Syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau, antara kedua belah pihak sudah tidak lagi boleh diharap mampu melaksanakan kewajipan-kewajipan rumah tangganya dengan penuh kebaikan (ma’ruf), kedamaian maupun kasih sayang. Atau, mungkin kerana gangguan yang menyangkut akhlak, kejiwaan (gila), mati pucuk (impoten) dan lain-lain, sehingga fungsinya sebagai suami atau isteri tidak boleh dilakukan secara normal.

Yang perlu diperhatikan, bahawa perceraian dengan bentuknya harus dilakukan secara ma’ruf (Baik), sopan, arif, dan penuh pertimbangan. Tidak diperkenankan saling membuka aib atau kelemahan masing-masing.

Tentang usaha atau tips dan tahap-tahap yang perlu dilakukan oleh pasangan suami-isteri guna menenggelamkan pertelingkahan atau kemelut yang sedang melanda rumah tangga, antara lain Islam memberi petunjuk sebagai berikut:

Pertama:

Bila kemelut itu datang dari pihak isteri, maka suami hendaklah bersikap sesuai dengan petunjuk Al-Quran sebagai berikut:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil) pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan (kalau juga mereka masih degil) pukulah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”.  (Surah An-Nisaa’: 34)

Ayat tersebut member petunjuk setidaknya  ada tiga tahap yang harus dilakukan pihak suami dalam menghadapi isteri yang “bermasalah” tersebut. Tahap pertama, dengan pendekatan nasihat dan peringkatan secara arif dan bijak. Tahap kedua, melakukan pisah ranjang, bukan pisah atap (Rumah). Sehingga komunikasi dan kedekatan emosi masih dikontrol. Pisah atap, disamping boleh melahirkan kekosongan hati, boleh mengundang datangnya pihak luar. Tidak mustahil, kekosongan hati itu akan diisi atau pindah ke orang lain.

Apabila zaman sekarang, sarana komunikasi dan  informasi demikian canggih dan “usil”. Berbeza halnya, jika yang dilakukan hanya pisah ranjang. Komunikasi dan mata, telinga maupun hati masih boleh dilakukan. Lagi pula bagaimana perkembangan sang isteri, dapat dipantau secara jelas. Dengan demikian, bila masing-masing masih berniat baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan membuka jalan kesedaran. Tahap ketiga, suami diberi perkenan untuk melakukan tindakan secara pisik (memukul). Tentu saja pada daerah yang tidak berbahaya, dan tetap sebatas dalam rangka member “pelajaran” gar yang bersangkutan sedar dan bertaubat.

Tapi bagi seorang Muslim, tentu akan meyakini bahawa kebijakan Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas kebijakan siapapun. Dan memang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dijagat raya ini, yang berhak membuat syari’at (undang-undang dan aturan).

“Pemukulan” betapapun kerasnya, risikonya akan lebih kecil dibandingkan dengan perceraian, yang juga memberi kesan pada pihak lain yang tidak bermasaalah, misalnya, anak-anak.

Ketiga tahap tersebut harus dilakukan secara tulus, demi kemashlahtan semua pihak, keutuhan perahu rumah tangga. Sebelum tahap pertama dilakukan secara keseluruhan, jangan dulu pindah ke tahap berikut. Perhatikan hujung ayat tersebut, “maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka (isteri)”.

Kedua:

Bila ternyata yang bermasaalah pihak suami, maka Al-Quran memberi petunjuk sebagai berikut.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً
wa-ʾini mraʾatun khafat min baʿliha nushiuzan ʾaw ʾiʿraan fa-la junaa ʿalayhima ʾan yulia baynahuma ulan was-sulu khayrun wa-ʾuḥḍiratil-ʾanfusu sh-shuḥḥa wa-ʾin tusinu wa-tattaqu fa-ʾinnallaha kana bi-ma taʿmaluna khabira

“Dan jika seorang perempuan bimbang akan timbul dari suaminya "nusyuz" (kebencian), atau tidak melayaninya, maka tiadalah salah bagi mereka (suami isteri) membuat perdamaian di antara mereka berdua (secara yang sebaik-baiknya), kerana perdamaian itu lebih baik (bagi mereka daripada bercerai-berai); sedang sifat bakhil kedekut (tidak suka memberi atau bertolak ansur) itu memang tabiat semula jadi yang ada pada manusia. Dan jika kamu berlaku baik (dalam pergaulan), dan mencegah diri (daripada melakukan kezaliman), maka sesungguhnya Allah Maha Mendalam PengetahuanNya akan apa yang kamu lakukan”. (Surah An-Nisaa’: 128)

Ayat tersebut member petunjuk bahawa seorang isteri bila merasa ada gejala yang kurang baik pada suaminya, dia hendak durhaka atau bertindak semena-mena kepada dirinya, maka isteri diperkenankan untuk mengajukan ishlah (perdamaian), dengan segala cara yang mungkin. Boleh dengan nasihat, peringatan, pisah ranjang atau apa saja yang dibenarkan Agama, demi tercapainya ishlah kerana ishlah itu lebih baik bagi keutuhan biduk rumah tangga dari perceraian.

Boleh juga, isteri meminta bantuan pihak lain yang mempunyai kebolehan (kompeten) yang adil dan bijak, untuk menjadi perantara agar perdamaian boleh tercapai. Perkara ini sesuai denagn petunjuk ayat ini.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
wa-ʾin khiftum shiqaqa baynihim fabʿathu akaman min ʾahlihi wa-akaman min ʾahliha ʾin yurida ʾilaan yuwaffiqillahu baynahuma ʾinnallaha kana ʿaliman khabira

“Dan jika kamu bimbangkan perpecahan di antara mereka berdua (suami isteri) maka lantiklah "orang tengah" (untuk mendamaikan mereka, iaitu), seorang dari keluarga lelaki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika kedua-dua "orang tengah" itu (dengan ikhlas) bertujuan hendak mendamaikan, nescaya Allah akan menjadikan kedua (suami isteri itu) berpakat baik. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui, lagi Amat mendalam pengetahuanNya”. (Surah An-Nisaa’: 35)

Demikianlah antara lain, secara garis besar, upaya atau kaedah dan tahap-tahap untuk menanggulangi kemelut atau krisis yang sedang melanda rumah tangga menurut Agama (Islam)

Posted by: Huszaini Rahman

26 March, 2020

KEAJAIBAN SEDEKAH


Mari kita bahas persoalan-persoalan daripada dua aspek iaitu aspek Agama dan Aspek rasional.

Daripada aspek Agama tidak diragukan lagi, sedekah memang memiliki manfaat yang ampuh. Didalam Al-Quran, terdapat banyak ayat berkenaan sedekah yang dapat kit abaca dan renungkan. Antaranya saperti berikut:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Kalau kamu zahirkan sedekah-sedekah itu (secara terang), maka yang demikian adalah baik (kerana menjadi contoh yang baik). Dan kalau pula kamu sembunyikan sedekah-sedekah itu serta kamu berikan kepada orang-orang fakir miskin, maka itu adalah baik bagi kamu; dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebahagian dari kesalahan-kesalahan kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui secara mendalam akan apa yang kamu lakukan”.(Surah Al-Baqarah: 271)

Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala lagi:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah susutkan (kebaikan harta yang dijalankan dengan mengambil) riba dan Ia pula mengembangkan (berkat harta yang dikeluarkan) sedekah-sedekah dan zakatnya. Dan Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang kekal terus dalam kekufuran, dan selalu melakukan dosa”. (Surah Al-Baqarah: 276)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala juga:

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberi apa yang mereka berikan sedang hati mereka gementar kerana mereka yakin akan kembali kepada Tuhan mereka”, (Surah Al-Mu’minum: 60)

Seterusnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“(Menolak peminta-peminta sedekah) dengan perkataan yang baik dan memaafkan (kesilapan mereka) adalah lebih baik daripada sedekah (pemberian) yang diiringi (dengan perbuatan atau perkataan yang) menyakitkan hati. Dan (ingatlah), Allah Maha Kaya, lagi Maha Penyabar”.(Surah Al-Baqarah: 263)

Lagi Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali (bisik-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mendamaikan di antara manusia. Dan sesiapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keredaan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang amat besar”. (Surah An-Nisaa: 114)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala lagi:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Orang-orang (munafik) yang mencela sebahagian dari orang-orang yang beriman mengenai sedekah-sedekah yang mereka berikan dengan sukarela, dan (mencela) orang-orang yang tidak dapat (mengadakan apa-apa untuk disedekahkan) kecuali sedikit sekadar kemampuannya, serta mereka mengejek-ejeknya, - Allah akan membalas ejek-ejekan mereka, dan bagi mereka (disediakan) azab seksa yang tidak terperi sakitnya”. (Surah At-Taubah: 79)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Ibrahim ayat 31:

قُل لِّعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلانِيَةً مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman hendaklah mereka mendirikan sembahyang dan mendermakan dari apa yang kami kurniakan kepada mereka (rezeki), sama ada dengan merahsiakan pemberiannya itu atau dengan terbuka; sebelum datangnya hari yang tidak ada jual beli padanya, dan tidak ada sahabat handai (yang dapat memberikan pertolongan)”.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengadap dan bertanyakan sesuatu kepada Rasulullah, maka hendaklah kamu bersedekah (kepada fakir miskin) sebelum kamu mengadapnya; (pemberian sedekah) itu adalah lebih baik bagi kamu dan lebih bersih. Dalam pada itu, kalau kamu tidak ada benda yang hendak disedekahkan, (kamu dibenarkan juga mengadapnya mengenai perkara yang tak dapat dielak), kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”. (Surah Al-Mujaadalah: 12)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala seterusnya:

أَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Adakah kamu takut (akan kemiskinan) kerana kerap kali kamu memberi sedekah sebelum kamu mengadap? Kalau kamu tidak melakukan (perintah) itu, dan Allah pun memaafkan kamu (kerana kamu tidak mampu), maka dirikanlah sembahyang dan berikanlah zakat (sebagaimana yang sewajibnya), serta taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Dan (ingatlah), Allah Maha Mendalam PengetahuanNya akan segala amalan yang kamu lakukan”. (Surah Al-Mujaadalah: 13)

Ayat=ayat ini secara tidak langsung menyebutkan manfaat ataupun keajaiban sedekah. Ayat-ayat ini hanya menekankan kepentingan sedekah, tetapi apabila kita memperhatikan riwayat-riwayat dalam Islam, kita pasti menemukan banyak riwayat yang mengetengahkan keajaiban sedekah.

Sayidina Ali bin Abu Talib RA berkata: “Pancing rezekimu dengan sedekah.“ Pun ada kaidah yang mengatakan, “Siapa yang banyak memberi, ia akan banyak menerima”. Sedekah merupakan salah satu cara pembuka pintu rezeki yang terbuka luas tanpa harus berpeluh keringat. Dengan bersedekah, terbentuklah rumus memberi bukan berarti mengurangi. Namun rumus yang sesungguhnya adalah memberi sama dengan menambah rezeki.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Bersegeralah bersedekah sebab bala bencana tidak pernah mampu mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Ubatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala dan bencana dan yang paling ringan ialah penyakit kusta dan sopak”. (Hadith Riwayat al-Baihaqi dan Al-Tabarani)

Dalam sebuah hadith yang dilaporkan oleh Anas bin Malik, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:

“Allah menciptakan  menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkana gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat kehairanan akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya?

"Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?" Allah menjawab, "Ada, iaitu besi"

Para malaikat pun kembali bertanya, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?" Allah yang Mahasuci menjawab, "Ada, iaitu api"

Bertanya kembali para malaikat, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?" Allah yang Maha Agung menjawab, "Ada, iaitu air" (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air). "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?"

Kembali bertanya para malaikat. Allah yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna menjawab, "Ada, iaitu angin"

Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?" Allah menjawab, "Ada, iaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya." (Hadith Riwayat: Tirmidzi  dan Ahmad)

Itulah kekuatan sedekah yang diberikan kepada orang yang mengeluarkannya, lalu bagaimana pula dengan kekuatan-kekuatan sedekah pada diri orang yang menerimanya? Disinilah letaknya manfaat social daripada amalan bersedekah. Disini kita dapat menyatakan sedekah itu selain menjadi ibadah peribadi, ia juga adalah ibadah sosial.  Dengan bersedekah, bererti kita membantu orang dalam kesusahan.

Mudah bagi kita mengetahui dan memahami manfaat sedekah kepada orang yang menerimanya. Sebaliknya, tidak mudah bagi mengetahui dan memahami manfaat sedekah kepada diri orang yang memberi. Dalam hal ini, orang yang member sedekah itu hanya memperoleh manfaatnya apabila dia memenuhi syarat-syarat tertentu.

Sekiranya saudara memberitahu kepada saya, bagaimana caranya saudara dapat merasakan diri saudara penting, saya dapat mengatakan siapakah diri saudara.

MISALNYA: John Rockefeller merasakan dirinya penting apabila dia memberikan sumbangan bagi membagunkan sebuah hospital modern. Hospital itu dibina bertujuan merawat juta orang miskin yang belum pernah dilihatnya dan tidak akan dilihatnya sampai bila-bila. Apabila saudara memberikan sedekah dengan penuh ketelusan dan keikhlasan, saudara tentu memiliki perasaan saperti dirasakan oleh Rockefeller itu, sekali pun ia hanya suatu senyuman.

Ada dua perkara yang menentukan adakah sedekah itu berupaya mendatangkan manfaat kepada diri orang yang mengeluarkannya iaitu:

a.   Cara bersedekah
b.   Tujuan bersedekah

Ada empat jenis hubungan antara cara dan tujuan bersedakah iaitu:

a.   Cara bersedekah benar dan tujuannya juga benar, maka orang yang memberi  
      sedekah mendapat manfaatnya.
b.   Cara bersedekah salah sedangkan tujuannya benar, maka orang   yang memberi
      sedekah tidak dapat manfaatnya.
c.   Cara bersedekah benar dan tujuannya salah, maka orang yang member sedekah
      tidak mendapat manfaatnya.
d.   Cara sedekah salah dan tujuannya juga salah, maka orang yang member sedekah
      tidak mendapat manfaatnya,   sebaliknya ia membawa kerosakan, baik pada orang
      yang mengeluarkannya mahupun pada orang yang menerimanya.

Penulis membincangkan berkenaan cara dan tujuan sedekah yang benar dan salah menurut pandangan Islam. Penulis juga menyentuh bagaimana konsep ini turut dipraktikan dalam agama atau ajaran lain. Penulis juga mahu menunjukkan kepada sauadar, pelbagai kemusykilan anggapan, pendapat, bahkan keyakinan berkenaan hakikat sedekah dalam Islam dibandingkan dengan dalam agama lain. Penulis juga berusahamenunjukkan kepada saudara perkara-perkara berikut:

a.   Keajaiban-keajaiban bersedekah dan cara kita memandang dan mentafsirkan
      keajaiban-keajaiban itu.
b.   Kekeliruan-kekeliruan dalam cara mengeluarkan sedekah
c.   Kekeliruan-kekeliruan dalam tujuan mengeluarkan sedekah
d.   Hubungan antara sedekah dengan rezeki iaitu falsafah disebalik sedekah dapat
      mendatangkan rezeki
e.   Hubungan antara sedekah dengan umur iaitu falsafah disabalik   sedekah dapat
      memanjangkan umur.
f.   Hubungan antara sedekah dengan penyakit iaitu falsafah disebalik sedekah dapat
     menolak, mencegah dan menyembukkan penyakit.

Daripada riwayat-riwayat ini, kita mendapat penjelasan sekurang-kurangnya ada empat manfaat ataupun keajaiban sedekah iaitu:

a.   Sedekah dapat menolak bala ataupun bencana
b.   Sedekah dapat menyembuhkan penyakit
c.   Sedekah dapat memanjangkan umur
d.   Sedekah dapat memperluas ataupun menambah rezeki

Sampai disini, kita dapat meragui ataupun menolak keajaiban sedekah daripada perspektif agama kerana kita dapat melihat sendiri bukti-buktinya.

Bagaimana pula dengan perspektif daripada aspek rasional?

Memang kita tidak dapat menafikan yang kita menganggap ia suatu kebetulan apabila ada orang yang bersedekah dan kemudian dia selamat daripada bencana. Dalam hal ini, saya mahu tunjukkan dua kemungkinan yang wujud daripada kebetulan iaitu:

a.   Kebetulan benar
b.   Kebetulan tidak

Katakan, suatu kebetulan itu benar iaitu saudara bersedekah dan kemudian terselamat daripada suatu bencana ataupun penyakit, maka bukanlah kebetulan saudara selamat itu lebih baik daripada saudara terkena penyakit ataupun ditimpa bencana? Jadi, apakah persoalannya?

Sekarang katakanlah pula kebetulan tidak iaitu saudara bersedekah tetapi tidak terselamat daripada suatu bencana atau pun penyakit, bagaimana saudara dapat memastikan saudara terkena bencana ataupun penyakit itu karena saudara bersedekah?  Dalam hal ini, sekiranya saudara tidak dapat membuktikan saudara terkena bencana ataupun penyakit karena saudara bersedekah, maka saudara juga tidak dapat membuktikan saudara tidak ditimpa bencana ataupun diserang penyakit karena saudara bersedekah? Dengan kata lain, saudara tidak dapat dan tidak berhak menyimpulkan sesuatu kebetulan.

Bagi orang yang bersedekah tetapi tidak berasa mendapat manfaat ataupun keajaiban daripada sedekahnya, persoalannya tidak terletak pada sedekah yang dia berikan itu tetapi terletak pada dirinya sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang perlu kita tanyakan kepada orang itu. Pertanyaan pertanyaan itu adalah saperti berikut:

a.   Adakah sedekahnya mengandungi kecacatan ataupun tidak, adakah ia bermanfaat,
      halal, baik ataupun sebaliknya?
b.   Apakah niatnya betul ataupun tidak?
c.   Adakah cara bersedekahnya betul ataupun tidak?
d.   Adakah tujuan dia bersedekah betul ataupun tidak?
e.   Adakah dia bersedekah kepada orang yang tepat?

Sekiranya jawapannya adalah tidak ataupun belum, sedekah itu tentu tidak boleh membawa manfaat ataupun keajaiban, sedekah adalah pemberian. Ini adalah prinsip yang perlu semasa kita perhatikan. Sewaktu saudara bersedekah kepada seseorang terjadilah hubungan saperti berikut:

a.   Saudara menjadi orang yang member sedekah.
b.   Ada sesuatu yang disedekahkan
c.   Ada orang yang menerima sedekah saudara

Oleh itu, apabila saudara bersedekah dengan cara yang salah, tentu kesalahan itu diperlihatkan pada diri dan pada orang yang menerima sedekah saudara. Misalnya, saudara bersedekahkarena mahu dipuji dan dihormati orang lain. Dalam keadaan ini, pujian dan penghormatan yang diterima bersifat sementara belaka. Saudara hanya berasa senang apabila dipuji disebaliknya berasa marah dan kecewa apabila tidak dipuji. Dengan itu, sedekah saudara memberikan kesan yang negative pada diri dan orang yang menerima sedekah saudara.

 Wallahu A'lam Bishawab       

Posted by: HAR
Rujukan: Muhammad Muhyidin – Ajaibnya sedekah, semakin bersedah semakin kaya
Tafsir Al-Quran: Mymasjid.net